Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Rasa kepakaran ini menimbulkan persoalan manakala anak perempuan yang diasuhnya kian berkembang.
Punya kemauan maupun ide-ide mandiri yang dikehendakinya, yang tak seluruhnya selaras dengan kehendak ibu.
Ibu segera menarik dari penyimpangan, ketika anak perempuan punya kemauan yang berbeda.
Anak yang bereaksi beda, dianggap menunjukkan perlawanan. Tak sepakat dengan ibu, terjadi persaingan dini ibu dengan anak perempuannya.
Nancy Lovering, 2022, dalam “Why Do Women Compete with Each Other”, menyebut faktor primordial maupun lingkungan lah yang mendorong terjadinya persaingan antar perempuan.
Baca Juga: Berlomba Rebut Hati Mertua, Ini 3 Hal yang Membuat Sesama Ipar Bersaing
Sumbernya bukan semata oleh proses pengasuhan.
Lovering mengawali bahwa kenyataannya, persaingan antar laki-laki tak kalah sengit dengan persaingan antar perempuan.
Namun sifat laki-laki yang siap menghadapi risiko dan bersedia melakukan agresi saat bersaing, mengantarnya pada penyelesaian.
Persaingan bukan hal yang berlarut-larut pada laki-laki. Namun ketika ini terjadi pada perempuan, persaingan dipendam terselubung dalam rahasia.
Persaingan jadi warna relasi antar perempuan.
Uraian soal sumber persaingan menurut penulis ini, pada awalnya naluri evolusi mendorong persaingan antar perempuan.
Di sini perempuan memperebutkan sumberdaya yang terbatas, seperti makan, tempat tinggal dan teman dalam kelompok. Persaingan untuk hal yang primordial.
Hari ini, ketika lingkungan telah berubah persaingan bukan untuk yang primordial. Persaingan bertujuan menunjukkan tercapainya cita-cita feminis.
Bentuknya, persaingan konsumsi, penampilan di media, kesempurnaan tampilan diri dan hubungan yang berhasil dibangun. Seluruhnya dapat disaksikan di media sosial.
Pada media sosial yang telah menjadi tanda peradaban ini, perempuan mempertontonkan perilaku konsumsinya, selain penampilan diri yang sempurna maupun implikasi relasi yang berhasil dibangunnya.
Pada konsumsi, yang dipertontonkan mulai unggahan brand produk yang dibeli, tempat membeli, perhelatan saat menggunakan produk, juga harganya.
Ditampilkan berupa ulasan, juga foto diri bersama brand yang dikonsumsi. Tak jarang pula tempatnya berfoto diungkap secara demonstratif.
Seluruhnya menghadirkan respons lengkap netizen. Lover maupun haters.
Baca Juga: Perempuan dan Perannya Menjamin Kualitas dan Kenyamanan Jagat Digital
Para lovers mengungkapkan dukungan dan pujian. Para haters, nyinyir menghujat. Demikian polanya.
Pola ini pula yang dialami remaja Singapura, Zoe Gabriel, pada akun TikTok Zohtaco.
Zoe mengunggah tas hadiah ayahnya dengan brand Charles & Keith. Respons diperolehnya, namun sayang yang bernada haters lebih banyak. Zoe dirisak. Di-bully tak berperasaan.
Seluruhnya lantaran Zoe menyebut tas kebanggaannya, sebagai produk yang mewah. Haters tak sepakat.
Yang menarik jika dilihat, pemberi respons lebih banyak perempuan. Termasuk yang merisaknya.
Nampaknya seperti itulah bentuk persaingan di media sosial. Melakukan pengawasan perilaku perempuan lain, seraya melontarkan ucapan bernada miring.
Entah kepuasan apa yang diperoleh. Namun pasti membunuh rasa bahagia perempuan lain. Juga merusak kesehatan mentalnya.
Jika ini yang terjadi, persaingan di media sosial, hanya menorehkan luka di antara para perempuan.
Sudah tak zamannya lagi, “Mirror-miror on the wall, who’s the fairest of them all?”
Juga, “satu kursi untuk satu meja” bukan lagi prinsip yang relevan di zaman media sosial.
Perempuan bisa mengembangkan luas eksistensi dirinya lewat medium ini.
Bersaing untuk memperebutkan satu tempat atau menjadi satu yang terbaik, hanya akan jadi olok-olok patriarki: Perempuan tak bisa bekerjasama dengan perempuan.
Yang ada saling menjatuhkan. Padahal justru kolaborasi yang diperlukan. (*)
Baca Juga: 3 Cara Menghindari Rasa Iri dan Persaingan dengan Teman, Salah Satunya Kolaborasi