Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Dalam konteks bisnis, bersaing bahkan dalam bentuknya yang sangat sengit (sehingga disebut konflik), tak selalu buruk.
Konflik memang bisa menyebabkan gagalnya pencapaian tujuan.
Namun ketika dipelajari mendalam, proses yang terjadi selama konflik justru bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuan. Ini konflik yang produktif.
Saat berlangsung, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik secara alamiah akan membangun dukungan.
Dukungan dikumpulkan dari orang-orang sekitarnya. Yang ketika jumlahnya makin besar, menegaskan posisi keberpihakan. Bahkan posisi kebenaran.
Tanpa dIsadari, terjadi semangat kerjasama kelompok. Masing-masing kelompok menunjukkan kinerja terbaiknya.
Tentu saja bagi organisasi maupun perusahaan, keadaan macam itu menguntungkan.
Tanpa banyak mengeluarkan biaya membangun kekompakan maupun pidato-pidato membosankan yang menekankan perlunya semangat kelompok, kemauan bersaing terbentuk dengan sendirinya.
Konflik dikelola untuk mencapai tujuan ini, lazim disebut sebagai management by conflict (manajemen konflik).
Baca Juga: Wanita Karir Wajib Tahu, Begini Cara Bijak Mengatasi Konflik dengan Rekan Kerja
Namun ketika yang terjadi persaingan perempuan dengan perempuan, apakah sama menguntungkanya dengan konflik semacam di atas?
Mikaela Kiner, 2020, bahkan dalam tulisannya “It’s Time to Break the Cycle of Female Rivalry”, mengingatkan, untuk segera menghentikan siklus persaingan perempuan dengan perempuan.
Secara tersirat Kiner mengkhawatirkan, persaingan ini justru menjauhkan perempuan satu sama lain.
Padahal kebersamaan dengan memperjuangkan sesama perempuan, bakal menghasilkan lebih banyak peluang dan peningkatan kesuksesan untuk semua.
Dalam penjelasan Kiner berikutnya, persaingan antar perempuan terjadi akibat adanya konsep “satu kursi untuk satu meja”.
Sebuah pernyataan yang menganggap, langkanya posisi layak bagi perempuan. Sisanya untuk laki-laki.
Ketika sebuah kelompok telah punya satu perempuan, maka kehadiran perempuan lain tak diinginkan.
Seluruhnya terlepas dari kenyataan bahwa keragaman akibat kehadiran banyak perempuan akan menguntungkan, dan menghasilkan inovasi yang lebih beragam.
Namun pandangan seksisme yang dihembuskan patriarki ini, telah diinternalisasi para perempuan.
Perempuan saling bersaing, terpengaruh mitos posisi langka.
Perwujudannya dapat disaksikan di ruang-ruang kerja: saat perempuan menilai sesamanya.
Perilakunya dapat menyebabkan perempuan saling menganiaya, meremehkan, seraya mementalkan perempuan dari perempuan lain.
Ini berakibat meningkatnya kekuatan dan kedudukan satu perempuan, di antara laki-laki.
Persaingan terselubung juga terjadi ketika perempuan mengkritik kesalahan yang kecil perempuan lain, namun memaafkan kesalahan besar yang dilakukan laki-laki.
Perempuan menilai perilaku laki-laki selalu demikian adanya, namun perilaku perempuan banyak yang harus diperbaiki.
Perempuan akhirnya, lebih sering bersaing daripada berkolaborasi.
Perempuan yang bersaing dengan perempuan lain, bukan perkara baru.
Karenanya ada yang memanfaatkan, merayakan untuk mencapai tujuan atau sekedar menontonnya.
Baca Juga: Jadi Rival di Final MasterChef Indonesia, Jesselyn dan Nadya Justru Jalin Persahabatan
Grace Back, 2019, dalam tulisannya “Why Do We Continue to Glorify Female Rivalry?”, menguraikan alasan perempuan yang menonton persaingan antar perempuan lain.
Tujuan yang ingin dicapai termasuk, untuk menghibur diri sendiri.
Selain itu menonton persaingan antar perempuan dapat jadi ukuran bagi persaingan yang dialami, dalam versi pelaku lain.
Keuntungan yang diperoleh dengan cara ini, ketidaknyamanan perasaan maupun ketakamanan diri (insecurity), tak langsung dialami perempuan. Tontonan jadi cermin, terhadap yang dialaminya.
Lebih lanjut Back menyebut, persaingan di antara perempuan telah berlangsung berabad-abad.
Beberapa di antaranya yang populer: dalam sejarah kerajaan terjadi persaingan antara Mary "Queen of Scots" dengan Ratu Elizabeth, di bidang sastra ada persaingan antara Virginia Woolf dengan Katherine Mansfield.
Di dunia mode, Donatella Versace bersaing dengan hampir semua desainer perempuan. Di dunia film, Sophia Loren bersaing sengit dengan Jayne Mansfield. Tak ketinggalan, di dunia olahraga, Tonya Harding bersaing dengan Nancy Kerrigan.
Lalu yang menghebohkan masyarakat dunia, persaingan antara Jennifer Aniston dengan Angelina Jolie.
Ketegangan di antara keduanya telah mampu mendongkrak peredaran ribuan majalah maupun tabloid, sejak tahun 2005.
Ah, masih ada lagi, Kawan Puan: Sengitnya persaingan antara Taylor Swift dengan Kim Kardashian.
Ini berujung pada dirilisnya album Taylor Swift yang berhasil memecahkan rekor, ketika dia bersaing dengan The Kardashians.
Jika dilacak awal bermulanya, persaingan perempuan dengan perempuan terjadi sejak awal masa pengasuhan perempuan.
Persaingan telah terjadi dalam hubungan ibu dengan anak perempuannya.
Ester Lianawati, 2022 dalam bukunya Akhir Penjantanan Dunia: Psikologi Feminis untuk Pembebasan Laki-laki dan Perempuan, menguraikan hal ini.
Menurutnya, Persaingan ibu dan anak perempuannya tidak pernah dibicarakan sebab tidak memenuhi penggambaran klasik tentang sosok ibu. Padahal inilah persaingan paling awal yang dialami setiap anak perempuan.
Dalam uraian lanjutannya, kurang lebih Lianawati menjelaskan bahwa dalam pengasuhan, ibu akan membedakan perlakuannya pada anak laki-laki dengan anak perempuannya.
Saat mengasuh anak perempuan, seorang ibu punya memori yang kuat tentang pengalamannya sendiri. Pengalaman saat diasuh jadi perempuan oleh ibunya, nenek sang anak perempuan.
Ini mengantar seorang ibu merasa punya pengetahuan yang mendalam soal-soal perempuan. Tentu seluruhnya merupakan hasil interaksi dirinya dengan pendahulunya.
Pengetahuan ini kemudian diwujudkan sebagai hal-hal yang harus dijalankan anak perempuan. Ibu merasa jadi pakar ketika membesarkan anak perempuannya.
Baca Juga: Tak Hanya dengan Pasangan, Ini Tanda Hubungan Toksik antara Ibu dan Anak
Rasa kepakaran ini menimbulkan persoalan manakala anak perempuan yang diasuhnya kian berkembang.
Punya kemauan maupun ide-ide mandiri yang dikehendakinya, yang tak seluruhnya selaras dengan kehendak ibu.
Ibu segera menarik dari penyimpangan, ketika anak perempuan punya kemauan yang berbeda.
Anak yang bereaksi beda, dianggap menunjukkan perlawanan. Tak sepakat dengan ibu, terjadi persaingan dini ibu dengan anak perempuannya.
Nancy Lovering, 2022, dalam “Why Do Women Compete with Each Other”, menyebut faktor primordial maupun lingkungan lah yang mendorong terjadinya persaingan antar perempuan.
Baca Juga: Berlomba Rebut Hati Mertua, Ini 3 Hal yang Membuat Sesama Ipar Bersaing
Sumbernya bukan semata oleh proses pengasuhan.
Lovering mengawali bahwa kenyataannya, persaingan antar laki-laki tak kalah sengit dengan persaingan antar perempuan.
Namun sifat laki-laki yang siap menghadapi risiko dan bersedia melakukan agresi saat bersaing, mengantarnya pada penyelesaian.
Persaingan bukan hal yang berlarut-larut pada laki-laki. Namun ketika ini terjadi pada perempuan, persaingan dipendam terselubung dalam rahasia.
Persaingan jadi warna relasi antar perempuan.
Uraian soal sumber persaingan menurut penulis ini, pada awalnya naluri evolusi mendorong persaingan antar perempuan.
Di sini perempuan memperebutkan sumberdaya yang terbatas, seperti makan, tempat tinggal dan teman dalam kelompok. Persaingan untuk hal yang primordial.
Hari ini, ketika lingkungan telah berubah persaingan bukan untuk yang primordial. Persaingan bertujuan menunjukkan tercapainya cita-cita feminis.
Bentuknya, persaingan konsumsi, penampilan di media, kesempurnaan tampilan diri dan hubungan yang berhasil dibangun. Seluruhnya dapat disaksikan di media sosial.
Pada media sosial yang telah menjadi tanda peradaban ini, perempuan mempertontonkan perilaku konsumsinya, selain penampilan diri yang sempurna maupun implikasi relasi yang berhasil dibangunnya.
Pada konsumsi, yang dipertontonkan mulai unggahan brand produk yang dibeli, tempat membeli, perhelatan saat menggunakan produk, juga harganya.
Ditampilkan berupa ulasan, juga foto diri bersama brand yang dikonsumsi. Tak jarang pula tempatnya berfoto diungkap secara demonstratif.
Seluruhnya menghadirkan respons lengkap netizen. Lover maupun haters.
Baca Juga: Perempuan dan Perannya Menjamin Kualitas dan Kenyamanan Jagat Digital
Para lovers mengungkapkan dukungan dan pujian. Para haters, nyinyir menghujat. Demikian polanya.
Pola ini pula yang dialami remaja Singapura, Zoe Gabriel, pada akun TikTok Zohtaco.
Zoe mengunggah tas hadiah ayahnya dengan brand Charles & Keith. Respons diperolehnya, namun sayang yang bernada haters lebih banyak. Zoe dirisak. Di-bully tak berperasaan.
Seluruhnya lantaran Zoe menyebut tas kebanggaannya, sebagai produk yang mewah. Haters tak sepakat.
Yang menarik jika dilihat, pemberi respons lebih banyak perempuan. Termasuk yang merisaknya.
Nampaknya seperti itulah bentuk persaingan di media sosial. Melakukan pengawasan perilaku perempuan lain, seraya melontarkan ucapan bernada miring.
Entah kepuasan apa yang diperoleh. Namun pasti membunuh rasa bahagia perempuan lain. Juga merusak kesehatan mentalnya.
Jika ini yang terjadi, persaingan di media sosial, hanya menorehkan luka di antara para perempuan.
Sudah tak zamannya lagi, “Mirror-miror on the wall, who’s the fairest of them all?”
Juga, “satu kursi untuk satu meja” bukan lagi prinsip yang relevan di zaman media sosial.
Perempuan bisa mengembangkan luas eksistensi dirinya lewat medium ini.
Bersaing untuk memperebutkan satu tempat atau menjadi satu yang terbaik, hanya akan jadi olok-olok patriarki: Perempuan tak bisa bekerjasama dengan perempuan.
Yang ada saling menjatuhkan. Padahal justru kolaborasi yang diperlukan. (*)
Baca Juga: 3 Cara Menghindari Rasa Iri dan Persaingan dengan Teman, Salah Satunya Kolaborasi