Waspada! Tingginya Sesi Online Bisa Picu Kekerasan Berbasis Gender Online

Shenny Fierdha - Senin, 8 Maret 2021
Ilustrasi kejahatan yang dilakukan secara online
Ilustrasi kejahatan yang dilakukan secara online

Parapuan.co - Imbauan untuk tetap berada di rumah selama pandemi Covid-19 mau tak mau membuat orang lebih sering online untuk kepentingan kerja maupun menghibur diri.

Kebiasaan online yang lebih intens ini membuat individu menjadi lebih rawan mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Hal ini disampaikan oleh Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, dalam konferensi pers virtual untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3/2021).

Baca Juga: Direktur YLBHI: Negara Masih Abai terhadap Pemenuhan Hak Perempuan

Konferensi pers tersebut diadakan oleh sejumlah organisasi peduli perempuan yang tergabung dalam Gerakan Antikekerasan terhadap Perempuan (GERAK Perempuan) melalui aplikasi konferensi video Zoom.

“Orang harus stay at home (tetap di rumah), jadi lebih sering online. Sementara watak untuk melakukan kekerasan tetap ada sehingga disalurkan secara online,” ujar Asfinawati dalam acara tersebut.

Jumlah Kasus KBGO Naik Selama Pandemi

Jumlah kasus KBGO sendiri melansir dari Tribunnews.com, dilaporkan meningkat selama masa pandemi.

Sepanjang Maret-November 2020, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menerima 196 laporan kasus KBGO terhadap perempuan.

Mengingat sifat KBGO yang terjadi di dunia internet, yang berarti berkaitan erat dengan ranah teknologi informasi, Asfinawati menilai bahwa KBGO bukan jenis kekerasan yang sederhana.

Baca Juga: Fenomena Love Scam, Mengapa Korban Jarang Lapor dan Memilih Menutupinya?

“KBGO itu rumit. IP address seseorang juga bisa ditipu (dipalsukan),” ucapnya.

Untuk penanganan kasus KBGO, menurut dia, sebatas menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak cukup.

“Tentu ada masalah kekosongan hukum di sini. Aparat (penegak hukum) akan mengatakan bahwa kasus bisa diproses memakai UU ITE. Tapi ingat, UU ITE tidak mengakomodasi penderitaan korban,” beber Asfinawati.

Misalnya, lanjut dia, ada seseorang yang fotonya tanpa busana tersebar begitu saja di internet tanpa sepengetahuan maupun seizin orang tersebut.

Meski sebetulnya orang itu adalah korban mengingat hak privasinya sudah dilanggar, namun alotnya UU ITE berpotensi mengkriminalisasi korban.

Terbentur Alotnya UU ITE

Beberapa tahun terakhir, UU ITE memang dicap sebagai UU alot yang berisikan pasal-pasal karet.

Maksudnya, pasal-pasal dalam UU tersebut rentan ditafsirkan berbeda-beda dan sepihak.

Pemberitaan pada Kompas.com menyebutkan bahwa UU ITE mengandung sejumlah pasal yang dianggap dapat membatasi kebebasan masyarakat dalam berpendapat di ruang maya.

Baca Juga: AJI: Perusahaan Media di Indonesia Belum Dukung Kesetaraan Gender

Bahkan, setidaknya ada sembilan pasal dalam UU ITE yang perlu direvisi.

Salah satunya adalah pasal 27 ayat 3 tentang defamasi.

Rincinya, situs Kpk.go.id memuat isi pasal yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal tersebut terangkum dalam Bab VII UU ITE yang berjudul Perbuatan yang Dilarang.

Sementara, diwartakan Kompas.com, pasal itu disebut-sebut dapat dipakai untuk mengekang ekspresi warga, aktivis, dan jurnalis.

Pasal itu pun dapat mengekang warga untuk melontarkan kritik terhadap polisi dan pemerintah.

Pasal inilah yang membuat banyak warganet berurusan dengan hukum, bahkan mendapatkan tuntutan pidana, karena memberikan kritik terhadap pihak tertentu lewat dunia maya.

Baca Juga: Sekjen AJI Kritik Perusahaan Media di Indonesia Masih Tidak Sensitif Gender

Meski menilai UU ITE tidak mampu menangani korban KBGO secara optimal, namun Asfinawati tidak merekomendasikan UU seperti apa yang sekiranya layak untuk korban kasus ini.

Walau begitu, dia menyarankan agar korban KBGO membuat laporan terkait kasus KBGO yang menimpanya dengan ditemani pendamping.

“Sebab, jika tidak didampingi, korban bisa diviktimisasi untuk kedua kalinya saat melapor, misal ditolak laporannya karena tidak membawa bukti atau saksi,” terang Asfinawati. (*)



REKOMENDASI HARI INI

Bocah 7 Tahun di Banyuwangi Diperkosa, Kenapa Anak Masih Rentan Jadi Korban Kekerasan?