IBCWE: Investasi Pemenuhan Hak Perempuan Bisa Untungkan Perusahaan

Shenny Fierdha - Selasa, 30 Maret 2021
Ilustrasi pekerja perempuan
Ilustrasi pekerja perempuan Freepik

Parapuan.co - Perusahaan sebaiknya berinvestasi terhadap pemenuhan hak perempuan agar dapat menciptakan terjadinya kesetaraan gender di dunia kerja. Bukan tanpa alasan, investasi tersebut ternyata dapat menguntungkan pekerja perempuan dan perusahaan itu sendiri.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita dalam konferensi pers bertajuk Investing in Women: Mainstreaming Women Participation in the Economy.

Diselenggarakan oleh perusahaan teknologi finansial Amartha, konferensi pers tersebut berlangsung via Zoom pada Selasa, 30 Maret 2021.

Baca Juga: Krisis Air Bersih di NTT, Shopee Resmikan Pembangunan Pompa Air

Menurut Maya, jika perusahaan meluangkan waktu dan uang untuk berinvestasi terhadap pemenuhan hak pekerja perempuan di perusahaan, maka pekerja perempuan akan semakin setia terhadap perusahaannya.

“Berinvestasi terhadap perempuan itu bersifat jangka panjang. Tapi (pekerja) perempuan itu lebih loyal. Kalau mereka diperlakukan dengan baik oleh perusahaan, maka mereka akan stay (tetap bekerja di perusahaan tersebut),” ujar Maya dalam konferensi pers itu.

Pekerja Perempuan Lebih Loyal

Lebih lanjut, Maya memberikan contoh berupa pengalaman kenalannya yang merupakan seorang pekerja perempuan di suatu perusahaaan.

Meski tidak Maya ungkap lebih lanjut nama perusahaannya, tetapi pekerja perempuan tersebut punya prestasi hebat sepanjang kariernya.

Prestasi tersebut tidak lain karena perusahaan terkait mau menginvestasikan waktu dan uang untuk memenuhi hak pekerja perempuan itu.

Baca Juga: Ini 4 Tuntutan GERAK Perempuan untuk Kesetaraan Gender di Indonesia

Maksudnya, perusahaan mau memberikan kesempatan kerja yang setara antara pekerja perempuan dengan laki-laki serta memenuhi hak pekerja perempuan, seperti hak cuti melahirkan dan menyusui yang layak.

Dengan begitu, pekerja perempuan yang dibicarakan Maya tersebut dapat bekerja dengan baik sembari terus menjalankan rumah tangganya dengan baik pula.

“Dia (pekerja perempuan tersebut) bisa saja pindah ke perusahaan lain kalau dia mau, mengingat dia ditawarkan lowongan pekerjaan baru yang lebih baik (oleh perusahaan lain) hampir setiap enam bulan sekali.

Tetapi, dia tidak mau mengambil tawaran tersebut karena menurutnya perusahaan tersebut sudah memberikan banyak pelajaran. Menambahkan, kenalan Maya hanya akan keluar dari perusahaan jika sudah tidak dibutuhkan lagi. 

Loyalitas pekerja perempuan seperti yang dicontohkan Maya tampaknya sangat berbeda dibandingkan loyalitas pekerja laki-laki pada umumnya.

“Pekerja laki-laki (umumnya) pindah ke perusahaan lain jika ada kesempatan yang lebih baik. Sementara, pekerja perempuan akan pindah kerja jika pekerja perempuan itu merasa tidak dihargai dan tidak diperlakukan dengan baik,” kata Maya.

Dia kemudian kembali menekankan pentingnya perusahaan memperlakukan pekerja perempuan sebaik-baiknya, termasuk berinvestasi terhadap pemenuhan hak pekerja perempuan untuk mensejahterakan pekerja perempuan dan perusahaan itu sendiri.

Baca Juga: Hari Perempuan Internasional 2021, Jokowi: Semua Setara Memberi Warna Bagi Peradaban

 

Sulit untuk cuti melahirkan

Masih dalam konferensi pers yang sama, Maya membenarkan bahwa sejumlah perusahaan mulai memberikan kesempatan kerja yang sama bagi perempuan dan laki-laki.

“Perusahaan memang memberikan kesempatan kerja yang sama untuk laki-laki dan perempuan,” ujar Maya.

Hal ini terbukti dari banyak lowongan kerja di perusahaan yang terbuka bagi pelamar perempuan dan laki-laki.  Selain itu, banyak pula posisi di perusahaan yang memang bisa diisi oleh pekerja laki-laki maupun perempuan.

Sayangnya, hal tersebut masih kurang apalagi jika berbicara tentang cuti melahirkan. Soal cuti melahirkan dan menyusui pada pekerja perempuan (maternity leave) dan laki-laki (paternity leave) yang sangat berbeda durasi cutinya.

Maternity leave pada pekerja perempuan adalah enam bulan, tapi paternity leave cuma dua hari, mengikuti aturan pemerintah,” kritik Maya.

Adapun aturan pemerintah yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurutnya, meski suami tidak melahirkan dan menyusui anak, namun suami seharusnya mendapat jatah paternity leave lebih dari dua hari untuk membantu istrinya.

Bantuan suami yang dimaksud bisa berupa bantuan fisik seperti ikut membersihkan rumah atau mengasuh anak. Bisa juga bantuan psikologis berupa dukungan moral untuk istri.

“Padahal suami bisa memberikan dukungan (fisik dan) psikologis kepada istrinya yang baru saja melahirkan,” kata Maya.

Baca Juga: Ini 6 Gerakan Yoga Buat Ibu Pasca Persalinan yang Bisa Dilakukan di Rumah

 

 

Masih menyoal maternity leave, dia menyayangkan masih adanya perusahaan yang menilai bahwa maternity leave yang berlangsung selama enam bulan itu terlalu lama.

Bahkan, ada pula perusahaan yang menganggap maternity leave mahal dan merugikan sebab perusahaan harus tetap menggaji pekerja perempuannya yang sedang cuti melahirkan dan menyusui.

“Sudah kodratnya perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Kalau pekerja perempuan sudah dibimbing oleh perusahaan, prestasinya bagus, tapi keluar karena perusahaan tidak memberikan maternity leave yang layak, that’s wrong (itu salah),” cecar Maya.

Dia menyarankan agar perusahaan tidak kehilangan pekerja perempuan berprestasinya, maka perusahaan harus berinvestasi terhadap pemenuhan hak perempuan.

Tak sebatas menguntungkan perusahaan, negara pun akan diuntungkan jika hak pekerja perempuan dipenuhi.

“Kalau perempuan berdaya dan sejahtera, Indonesia pun akan sejahtera,” tutup Maya.

(*)

Baca Juga: Cara Ini Bisa Bantu Mengantisipasi Depresi Pasca Berhenti Menyusui

 

 

Sumber: liputan
Penulis:
Editor: Kinanti Nuke Mahardini